Profil : Satrio Rizki Dharma

Salam kenal, saya Satrio. Sebenarnya tidak banyak hal yang bisa diceritakan dari diri saya. Saya, sama sepertimu. Atau mungkin bisa juga berbeda jika kamu menganggap dirimu luar biasa. Percayalah saya hanyalah orang yang biasa-biasa saja, “dudu sopo-sopo” (bukan siapa-siapa).

Namun kalau memang perlu kenal untuk sayang, maka inilah beberapa yang bisa saya ceritakan.
Mulai dari apa yang tertera di kartu tanda penduduk, nama lengkap saya Satrio Rizki Dharma. Saya lahir di Magelang tanggal 6 Juli yang artinya saya merayakan ulang tahun berbarengan dengan Sylvester Stallone sang Rambo.

Saat ini saya tinggal di bilangan Condong Catur, Yogyakarta dan ini memasuki tahun ke-5 saya tinggal di Kota Pelajar ini.

Orang biasa memanggil saya Satrio atau Iok. Seorang cowok berzodiak cancer bershio kambing berumur 23 tahun. Masih mahasiswa, belum menikah, berusaha memenuhi kebutuhan untuk makan tiga kali sehari dan suka melakukan apapun yang saya sukai.

Saya penggemar grup band Pearl Jam dan Foo Fighters yang masih berharap mereka akan mengadakan konser di Indonesia dan tentunya akan melakukan apapun untuk bisa menontonnya.

Sangat menyukai pantai dengan pasir putih dan ombak besar, juga senja. Menggemari hal-hal berbau horror dan robot serta percaya akan keberadaan alien. Banyak orang bilang saya terlalu memuja hal-hal berbau 90’an dan menolak dimodernkan.

Pacar saya tinggal di Bandung dan kami memiliki kesamaan dalam banyak hal. Saya juga pernah dan sedang bergiat di organisasi Pers Mahasiswa di kampus, serta terlibat dalam beberapa kegiatan komunitas.

Ada tiga hal yang sepertinya cukup untuk menggambarkan diri saya yaitu: musik, film dan buku. Hampir semua yang saya lakukan sejauh ini tidak lepas dari tiga hal tersebut. Ini adalah soal yang saya cari, apa yang saya dapatkan, apa yang saya pelajari dan bagaimana saya bergerak.

Mulai dari musik, saya sangat menyukai music. Bagi saya musik bukan cuma soal mendengarkan atau memainkan, musik memiliki peran yang jauh lebih dalam. Ini adalah soal perjalanan, baik fisik maupun spiritual. Maka yang harus bertanggungjawab atas semua ini tentu saja adalah bapak dan ibu saya yang membesarkan saya di lingkungan yang penuh dengan musik, terutama bapak. Beliau berdua memang bukan seorang musisi, namun bapak getol memutar kaset-kaset band favoritnya sejak saya masih balita.

Apa musik yang kamu dengar saat masih kecil? Trio Kwek-Kwek? Joshua? Saya punya Godbless, Queen dan Deep Purple dan saya harus berterimakasih pada bapak untuk itu. Saya hampir tidak pernah lepas dari musik mulai dari sekedar mendengar, memainkan bahkan menggali. Saya senang menggali informasi yang berkaitan dengan musik. Baik yang berkaitan dengan musisi favorit maupun hal lain yang melingkupinya. Jika bermimpi adalah sebuah keharusan supaya tidak hanya hidup sebagai seonggok daging bergerak yang memiliki nama, maka mimpi saya adalah menjadi seorang jurnalis musik.

Dan syukurlah sampai sekarang saya masih diberi kesempatan untuk bermain musik dan tergabung dalam sebuah band. Jika saya adalah lilin, maka musik adalah apinya. Tanpanya saya tidak akan menyala sampai tiba akhirnya untuk terbakar habis.

Selain musik saya juga suka sekali dengan perfilman, meskipun hanya sebagai penikmat dan bukan pelaku. Fight Club adalah film favorit saya sepanjang masa, tidak terhitung berapa kali saya menontonya ulang dan David Fincher selalu jadi sutradara terbaik saya. Menurut saya tidak ada actor yang lebih keren daripada Johnny Depp dan tidak ada aktris yang lebih memukau daripada Anne Hathaway.

Saya juga suka membaca buku terutama Novel dan karya sastra yang bergenre thriller atau suspense. Seno Gumira Ajidarma dan Chuck Pallahniuk adalah dua nama penulis yang sangat saya kagumi dan sukai karya-karyanya. Saya juga penggemar komik dan superhero, Batman sang ksatria kegelapan adalah tokoh superhero favorit saya.

Komik jepang favorit saya adalah Bleach dan Slam Dunk. Kadang-kadang saya juga menulis sesuatu, meski tidak bisa dibilang bagus atau menarik. Kalau punya waktu luang dan ingin membosankan diri mampir saja di cepatdannegatif.wordpress.com, itu adalah alamat blog pribadi saya.

Kehidupan pendidikan saya dimulai di Taman Kanak-Kanak Islam “Batik” yang ada di kota Purworejo. Dulu memang ketika bapak dan ibu belum memiliki rumah sendiri, kami bertiga ikut menumpang di rumah pakdhe yang ada di Purworejo.

Kehidupan sebagai anak laki-laki dalam silsilah bisa dibilang cukup membahagiakan, hehe nanti saya akan cerita lebih lanjut. Selama setahun saya belajar dan bermain di TK tersebut sampai akhirnya ayah dan ibu memutuskan kembali ke Magelang dan saya lalu tinggal di rumah almarhum nenek.

Di Magelang, saya melanjutkan sekolah “nol besar” di TK Trisula II. Sebuah TK sederhana di dekat rumah nenek yang hanya memiliki satu bangunan induk yang dijadikan kelas serta kantor guru. Jadi siswa “nol kecil” dan “nol besar” belajar bersama di dalam ruangan yang sama.

TK tersebut hanya memiliki dua guru yang saya masih ingat namanya Bu Ning dan Bu Lies, beliau mengajar bergantian. Lulus dari TK ditandai dengan bapak dan ibu saya yang akhirnya sukses memiliki rumah sendiri, saat itu adik perempuan saya juga baru lahir. Akhirnya kami berempat pindah ke rumah yang sampai saat ini masih kami tempati.

Pindah rumah artinya harus menghadapi lagi lingkungan sekitar yang baru. Kami tinggal di Perumnas yang terletak di pinggiran kota. Jarak antar rumah yang sangat dekat membuat warganya dapat dengan mudah saling mengenal dan bersosialisasi, tak terkecuali saya. Masa kecil saya banyak dilewatkan dengan bermain bersama sebaya.

Oiya, saya akhirnya melanjutkan sekolah di SD N Kalinegoro 5 yang ada di dalam kompleks Perumnas tersebut. Jaraknya hanya 10 menit dari rumah. Tidak ada yang istimewa dari kehidupan di sekolah dasar. Saya bukan termasuk murid yang pintar meski ada juga yang menganggap seperti itu hehe namun juga tidak bodoh, biasa-biasa saja.

Beberapa kali mendapat peringkat 5 besar di kelas dan karena itu juga saya bisa memiliki beberapa barang-barang istimewa seperti sepeda bmx, tamiya dan buku-buku komik yang orang tua berikan sebagai hadiah atas prestasi yang saya raih. Saya juga tidak terlalu jago dalam olahraga, bahkan sampai sekarang saya lebih suka menonton olahraga daripada melakukannya.

Bukan hal yang baik tapi yah suatu hari nanti mungkin saja saya akan berubah pikiran. Intinya saya bukan seorang yang istimewa saat berada di sekolah dasar, dan saya tidak masalah dengan itu. Saya masih bahagia karena dikelilingi teman-teman yang baik dan menyenangkan di sekolah. Kehidupan di sekolah dasar berjalan dengan amat menyenangkan sampai saya akhirnya dinyatakan lulus, lagi-lagi dengan nilai yang biasa-biasa saja.

Salah satu hal buruk yang terkadang saya sukar menerimanya adalah kegagalan.  Itulah yang saya alami ketika memasuki masa-masa pendaftaran SMP. Waktu itu ada kebijakan dari pemerintah setempat yang memberlakukan ujian masuk SMP. Cita-cita saya adalah masuk ke SMP 2 pada waktu itu.

Bukan tanpa alasan, baik ayah, ibu dan kebanyakan om-om dan tante-tante saya adalah lulusan SMP 2, dan juga almarhum nenek saya adalah mantan guru di SMP tersebut. Seperti meneruskan tradisi keluarga, ditambah lagi SMP 2 juga merupakan salah satu SMP favorit yang ada di Kota Magelang tentunya akan sangat membanggakan jika bisa diterima di SMP tersebut. Yah, itulah yang ada di pikiran anak berusia 12 tahun. Tetapi kenyataan berkata lain, saat itu belum datang kesempatan untuk mewujudkan keinginan saya.

Saya tidak lulus tes untuk masuk ke SMP tersebut, dan hal pertama yang terlintas di kepala saya adalah: saya anak yang bodoh. Sampai saat ini, kegagalan selalu terasa seperti sebuah akhir dunia bagi saya. Saya mungkin tipe orang yang sukar menganggap kegagalan sebagai kesuksesan yang tertunda. Beruntung saya dikelilingi keluarga yang hebat, mereka tidak pernah lelah memberi motivasi agar jangan larut dalam ratapan karena sebuah kegagalan.

Akhirnya saya masuk ke SMP 11 yang masih kekurangan murid dan membuka pendaftaran gelombang ke 2 menggunakan nilai EBTANAS. Agak membanggakan dalam proses tersebut karena saya berada di peringkat 8 dari sekian banyak pendaftar di SMP tersebut. Oiya, alasan SMP 11 kekurangan murid bisa dipastikan karena pada saat itu SMP 11 dianggap sebagai sekolah “kelas dua” dari segi kualitas.

Siapa sangka dari sekolah “kelas dua” tersebut saya malah belajar banyak hal.
Saat itu SMP 11 tidak dipungkiri memang memiliki citra buruk di dunia pendidikan. Siswanya terkenal berkelakuan kurang baik dan rendah dari segi prestasi. Ketika saya masuk ternyata tidak seburuk itu. Yah memang banyak anak nakal di sini tapi yah, maklum namanya juga remaja lagi puber-puber nya kan sukanya coba ini itu.

Di sekolah ini saya benar-benar menemukan dan mempelajari banyak hal. Saya akhirnya bisa main gitar setelah sekian lama tidak memiliki keahlian dalam memainkan satu pun alat musik. Seorang kawan karib bersedia mengajari saya main gitar, dan sayang sekali saya harus kehilangan dia untuk selama-lamanya setelah dia mengalami kecelakaan empat tahun silam.

Dari situ, minat yang nyaris saya pendam untuk selama-lamanya bangkit lagi. Musik. Mulai dari bisa main gitar sampai akhirnya punya band sendiri, latihan di studio music, ternganga setelah melihat dengan mata kepala dari dekat yang namanya drum, gitar elektrik dan bass. Norak ya? Semenjak itu, laksana menemukan pencerahan atas apa yang saya cari selama ini saya memutuskan untuk menggali segala hal yang berhubungan dengan musik.

Saya pribadi memang tidak terlalu menyukai music dalam negeri yang popular saat itu, kecuali Sheila On 7, Padi, dan Dewa 19. Saya cenderung lebih menyukai apa yang dibawakan oleh musisi dari luar negeri. Bukannya mau sok enggres atau menganggap band Indonesia jelek-jelek (saat itu menurut saya memang sih, hahahaha) tapi saya merasa ada kekuatan aneh dari music yang mereka mainkan.

Sesuatu yang magis, sesuatu yang melepaskan, seperti mengisi kekosongan dari apa yang hampir pasti dialami oleh remaja puber sejenis. Mereka mengisi kekosongan-kekosongan tersebut dengan energy. Ketimbang mendengar lagu-lagu dari band macam Ungu, Peter Pan, Radja, Vagetos, dll lagu-lagu dari band rock asing seperti Blink 182, Linkin Park, Guns and Roses, Limp Bizkit, Green Day, Nirvana, Muse, dll lebih mampu membuat saya merasa lebih ‘terbebaskan’. Oke, stop ngomongin music karena saya pasti kebablasan hehe.

Kemudian ada masa ketika saya memutuskan untuk bergabung dengan kegiatan ekstrakulikuler Palang Merah Remaja (PMR). Berawal dari coba-coba dan akhirnya keterusan karena banyak hal menyenangkan yang saya temui saat berkegiatan di PMR. Hiking ke tempat-tempat wisata alam seperti danau, gunung dan, air terjun, terlibat dalam kegiatan sosial, mempelajari banyak hal tentang palang merah juga hal menyenangkan lainnya yang bermanfaat banyak di kehiduapan saya kelak.

Saya masih ingat Pembina PMR menyarankan satu film tentang palang merah dunia yaitu “Band of Brothers” yang membuat saya kecanduan film perang sampai sekarang. Kegiatan di PMR berakhir manis ketika saya meraih juara 3 di lomba desain poster anti narkoba se-Kota Magelang. Akhirnya.

Kehidupan SMP juga berakhir manis dengan keberhasilan saya meraih peringkat 3 nilai UN tertinggi di sekolah. Kalau kamu menanyakan tentang cinta monyet saya semasa SMP, cewek yang menempati urutan 1 itu jawabannya, haha. Oke baiklah, singkatnya akhirnya saya diterima masuk ke SMA 3 Magelang. Salah satu SMA favorit. Kehidupan SMA saya tidak terlalu istimewa, nilai saya tidak bagus-bagus amat dan tentunya melakukan kenakalan-kenakalan klise seperti nyontek, bolos dan lain-lain.

Tapi ada satu hal yang paling saya hindari sejak kecil yaitu berkelahi. Entah kenapa saya tidak pernah tertarik dengan yang namanya berkelahi. Bukannya saya penakut, tapi apa sih enaknya mukulin teman sendiri? Kehidupan SMA yang penuh ke”biasa”an pun diakhiri dengan manis saat saya dinyatakan lulus UN setelah sebelumnya was-was setengah mati tidak lulus ujian. Kemudian saya melanjutkan studi ke STMIK AMIKOM Yogyakarta dan mengambil jurusan Sistem Informasi. Sampai sekarang skripsi saya masih terombang-ambing.

Yogyakarta adalah salah satu kota yang sangat berarti bagi saya. Menyebut Yogyakarta, yang terlintas di kepala saya adalah perpaduan antara keindahan dan kekayaan. Tidak semua kota di Indonesia atau di belahan dunia manapun memiliki hal ini. Di kota ini saya bisa belajar banyak hal, menemukan hal baru, bertemu dan berkumpul dengan berbagai macam orang, terlibat dalam berbagai kegiatan, melakukan apa dan menikmati yang saya suka, meraih apa yang saya inginkan, macam-macam lah pokoknya. Oleh sebab itu Yogyakarta selalu memiliki tempat di hati saya dan semoga akan terus begitu bagi siapa-saja, bukankah karena itu mereka menyebut kota ini “istimewa”?

Ngomong-ngomong soal karir juga sepertinya tidak ada yang terlalu istimewa. Pekerjaan yang pernah saya geluti belum ada yang berhubungan dengan bidang professional. Awal kisah dunia kerja saya dimulai dengan bekerja sebagai operator warnet yang pernah kerampokan. Bukan saya untungnya yang tertimpa musibah tersebut.

Alasannya kerjanya sederhana, saya butuh uang untuk membuat sepeda fixed gear sendiri. Benar saja, sepeda fixed gear saya kemudian sudah jadi dan saya memutuskan mengundurkan diri dari pekerjaan tersebut. Setelah itu saya juga sering kerja serabutan sebagai tukang desain jika ada orang yang membutuhkan, tukang terjemah dan apapun yang saya rasa bisa dikerjakan. Lumayan buat tambah uang jajan beli kaos band, CD, Buku atau sekedar tiket nonton.

Ada lagi, saya juga pernah kerja jadi koki di salah satu café di Yogyakarta, haha. Masak adalah salah satu keinginan saya sejak lama sih, dan udah kesampaian. Gaji kerja di sana memang lumayan, tapi juga sepadan dengan pekerjaan yang dilakukan. Capeknya minta ampun. Kalau dilihat memang tidak ada korelasi yang kentara ya antara pekerjaan yang pernah saya jalani dengan apa yang saya pelajari di bangku kuliah.

Memang, apapun yang saya lakukan itu hanya karena saya senang melakukannya. Jika alasan tersebut sudah cukup maka tunggu apalagi? Hajar! my Happiness doesn’t need a pursuit. hehe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar